Konsumsi dan Investasi

 

A.    Definisi  Konsumsi



Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.  Konsumsi juga dapat di artikan suatu proses tindakan atau kegiatan pemakaian suatu barang atau jasa guna untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan dasar, untuk mencapai suatu kepuasan. Konsumsi adalah kegiatan dalam memanfaatkan atau menggunakan barang dan jasa. Dalam bukunya Hikmah konsumsi adalah kegiatan menghabiskan nilai guna suatu barang.[1]

Pengeluaran konsumsi terdiri dari konsumsi pemerintah (government consumption) dan konsumsi rumah tangga (household consumption/private consumption).

Pada dasarnya faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat adalah pendapatan, di mana korelasi keduanya bersifat positif, yaitu semakin tinggi pendapatan (Y) maka konsumsinya (C) juga semakin tinggi:

C = f(Y)

Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga, antara lain :

1.                Faktor Ekonomi

Maksudnya ialah ekonomi atau pendapatan dari seseorang itu sangat berpengaruh dalam memakai atau pun menghabiskan suatu barang atau jasa guna memenuhi kepuasanya. Setidaknya terdapat enam faktor yang menentukan tingkat konsumsi, yaitu :

a.                Pendapatan Rumah Tangga ( Household Income )

Pendapatan rumah tangga amat besar pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi. Biasanya makin baik tingkat pendapatan, tingkat konsumsi makin tinggi. Karena ketika tingkat pendapatan meningkat, kemampuan rumah tangga untuk membeli aneka kebutuhan konsumsi menjadi semakin besar atau mungkin juga pola hidup menjadi semakin konsumtif, setidak-tidaknya semakin menuntut kualitas yang baik.

Contoh sederhananya seorang pengantin baru yang baru membina mahligai rumah tangga dan baru meniti karier di jenjang level rendah biasanya menggunakan pendapatannya untuk hal-hal yang normatif, menabung membeli barang-barang konsumsi tahan lama dengan menekan konsumsi harian.[2]

b.                Kekayaan Rumah Tangga ( Household Wealth )

Tercakup dalam pengertian kekayaaan rumah tangga adalah kekayaan rill (rumah, tanah, dan mobil) dan finansial (deposito berjangka, saham, dan surat-surat berharga). Rumah atau mobil yang di sewakan, deposito, saham, surat-surat berharga yang dimiliki akan menghasilkan penghasilan berupa deviden tentunya dapat meningkatkan pendapatan non upah (non wages income). Sebagian tambahan penghasilan tersebut digunakan sebagai konsumsi yang tentunya akan meningkatkan pengeluaran konsumsi.

c.                Jumlah Barang-barang Konsumsi Tahan Lama Dalam Masyarakat

Pengeluaran juga dipengaruhi oleh jumlah barang-barang tahan lama (consumers durables) yang dikonsumsi masyarakat. Sebagai contoh misalnya semakin banyaknya masyarakat memiliki kendaraan bermotor menyebabkan semakin berkurangnya moda transportasi masal di suatu daerah, tetapi di sisi lain akan banyak terjadi pengeluaran BBM yang menghabiskan subsidi, bengkel perawatan dan perbaikan kendaraan bermotor dan lain sebagainya.

Barang-barang tahan lama pada umumnya berharga mahal dan untuk membelinya dibutuhkan waktu untuk menabung sehingga mengurangi konsumsi, sebaliknya untuk pembelian dengan sistem kredit fase penghematan adalah sesudah pelunasan

d.               Tingkat Bunga (Interest Rate)

Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi keinginan konsumsi. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi (opportunity cost) dari kegiatan konsumsi akan semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik menunda/mengurangi konsumsi.

e.                Kebijakan Pemerintah Mengurangi Ketimpangan Distribusi Pendapatan

Keinginan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan dalam distribusi pendapatan ternyata akan menyebabkan bertambahnya konsumsi masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh misalnya apabila pemerintah menarik pajak dari golongan masyarakat berpendapatan tinggi sebesar Rp 100 juta maka akan menyebabkan berkurangnya konsumsi mereka sebesar Rp 65 juta (dengan MPC sebesar 0,65). Di sisi lain, tambahan pendapatan sebesar Rp 100 juta terhadap masyarakat berpenghasilan rendah akan meningkatkan pertambahan konsumsi mereka sebanyak Rp 80 juta (dengan MPC 0,80). Ini artinya dengan tingkat pendapatan nasional yang sama, besarnya konsumsi masyarakat menjadi lebih besar dibandingkan dengan sebelumnya karena pemerintah melakukan redistribusi pendapatan nasional.[3]

f.                 Perkiraan Tentang Masa Depan (Household Expectation About The Future)

Faktor-faktor internal yang dipergunakan untuk memperkirakan prospek masa depan rumah tangga antara lain pekerjaan, karier dan gaji yang menjanjikan, banyak anggota keluarga yang telah bekerja. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi antara lain kondisi perekonomian domestik dan internasional, jenis-jenis dan arah kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah. Misalnya, harga sembako menjelang hari raya akan meningkat, maka konsumsi memilih membeli sembako jauh hari sebelum hari raya tiba. Dengan demikian konsumsi di masa sekarang akan datang.

2.                Faktor-faktor Demografi (Kependudukan)

 

a.       Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata per orang atau per keluarga relatif rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, bila jumlah penduduk sangat banyak dan pendapatan per kapita sangat tinggi.

b.      Komposisi Penduduk

Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi, antara lain:

1.      Produktifitas, artinya semakin banyak penduduk yang berusia kerja atau produktif (15 – 64 tahun), akan semakin besar pula tingkat konsumsinya karena penghasilannya juga akan semakin besar.

2.      Tingkat pendidikan, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, tingkat konsumsinya juga makin tinggi, sebab pada saat seseorang atau suatu keluarga makin berpendidikan tinggi maka kebutuhan hidupnya makin banyak.

3.      Demografis, artinya semakin banyak penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan (urban) pengeluaran konsumsi juga semakin tinggi karena pada umumnya pola hidup masyarakat perkotaan lebih konsumtif di bandingkan dengan masyarakat pedesaan.

 

3.                Faktor-faktor Non Ekonomi

Faktor-faktor non-ekonomi yang paling berpengaruh  terhadap besarnya konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Misalnya saja, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat/ideal.[4]

Contoh konkrit dari faktor non ekonomi adalah berkembangnya pasar swalayan moderen menghilangkan budaya tawar menawar seperti yang terjadi di pasar tradisional. Demikian juga halnya dengan menjamurnya rumah makan atau restoran di berbagai tempat menyebabkan sekarang banyak keluarga atau rumah tangga yang jarang melakukan ritual masak sendiri di rumah, terutama di kota-kota besar.

Misalnya lagi , banyaknya iklan tentang produk makanan akan meningkatkan konsumsi produk makanan. Selain itu adanya kemudahan bertransaksi melalui internet, akan mendorong rumah tangga untuk meningkatkan kegiatan konsumsi.

A.    Teori Konsumsi

1.            Teori Keynes (Keynesian Consumption Model)

Keynesianisme, atau ekonomi ala Keynes atau Teori Keynes, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keynes. Teori ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana baik negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomilaissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.

Teori ini menyatakan bahwa trend ekonomi makro dapat memengaruhi perilaku individu ekonomi mikro. Berbeda dengan teori ekonom klasik yang menyatakan bahwa proses ekonomi didasari oleh pengembangan output potensial, Keynes menekankan pentingnya permintaan agregat sebagai faktor utama penggerak perekonomian, terutama dalam perekonomian yang sedang lesu.

Ia berpendapat bahwa kebijakan pemerintah dapat digunakan untuk meningkatkan permintaan pada level makro, untuk mengurangi pengangguran dan deflasi. Jika pemerintah meningkatkan pengeluarannya, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya (sehingga permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan meningkat sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi, dan kondisi perekonomian akan kembali ke tingkat normal.

Kesimpulan utama dari teori ini adalah bahwa tidak ada kecenderungan otomatis untuk menggerakan output dan lapangan pekerjaan ke kondisi full employment (lapangan kerja penuh). Kesimpulan ini bertentangan dengan prinsip ekonomi klasik seperti ekonomi supply-side yang menganjurkan untuk tidak menambah peredaran uang di masyarakat untuk menjaga titik keseimbangan di titik yang ideal.[5]

b.            Hubungan Pendapatan Diposable dan Konsumsi

Keynes menjelaskan bahwa konsumsi saat ini (current consumption) sangat dipengaruhi oleh pendapatan diposabel saat ini (current diposable income).  Pendapatan disposabel adalah  merupakan pendapatan yang siap digunakan, baik untuk keperluan konsumsi maupun ditabung. Jika pendapatan disposabel meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan diposabel.

Menurut Keynes, ada batas konsumsi minimal yang tidak tergantung tingkat pendapatan. Artinya, tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi,walaupun tingkat pendapatan sama dengan nol. Itulah yang disebut dengan konsumsi otonomus.[6]

C = Co + bYd

Ket :  C   =  konsumsi

Co =  konsumsi otonomus

b    =  marginal propensity to consume (MPC)

Yd =  pendapatan diposabel

0 < b < 1

Sebagai tambahan penjelasan dari teori Keynes mengenai fungsi konsumsi di atas dapat dikatakan bahwa :

1)      Merupakan variabel riil/nyata, yaitu bahwa fungsi konsumsi Keynes menunjukkan hubungan antara pendapatan dengan pengeluaran konsumsi yang keduanya dinyatakan dengan menggunakan tingkat harga konstan, bukan hubungan antara pendapatan nominal dengan pengeluaran konsumsi nominal.

2)      Merupakan pendapatan yang terjadi (current income), bukan pendapatan yang diperoleh sebelumnya, dan bukan pula pendapatan yang diperkirakan terjadi di masa yang akan datang (yang diharapkan).

3)      Merupakan pendapatan absolut, bukan pendapatan relatif atau pendapatan permanen.

c.            Kecenderungan Mengonsumsi Marjinal (Marginal Propensity to Consume)

Kecenderungan Mengonsumsi Marjinal disingkat (MPC) adalah konsep yang memberikan gambaran tentang berapa konsumsi akan bertambah bila pendapatan disposabel bertambah satu unit.

Rumus: MPC =

d.           Kecenderungan Mengonsumsi Rata-Rata (Average Propensity to Consum)

Kecenderungan mengonsumsi rata-rata (Average Propensity to Consum, disingkat APC) adalah rasio antara konsumsi total dengan pendapatan disposabel total.

Rumus: APC =

e.            Hubungan Konsumsi dan Tabungan

Pendapatan disposabel yang diterima rumah tangga sebagian besar digunakan untuk konsums, sedangkan sisanya ditabung. Kita juga dapat mengatakan setiap tambahan penghasilan disposabel akan dialokasikan untuk menambah konsumsi dan tabungan. Besarnya tambahan pendapatan disposabel  yang menjadi tambahan tabungan disebut kecenderungan menabung marginal (Marginal Propensity to Save/MPS). Sedangkan rasio antara tingkat tabungan dengan pendapatan disposabel disebut kecenderungan menabung rata-rata (Avarage Propensity to Save/APS)

Yd    : C + S

         :  +

1: APC + APC           

 

2.            Teori Konsumsi dengan Model Hipotesis Siklus Hidup (Life Cycle Hypothesis)

Model konsumsi siklus hidup lebih menekankan pada variable sosial ekonomi, di mana yang lebih menjadi perhatian adalah variable usia (umur). Model ini dikembangkan oleh Franco Modigliani, Albert Ando, Richard Brumberg. Di dalam teorinya dijelaskan bahwa pengeluaran konsumsi seseorang sangat tergantung dari perjalanan umur seseorang.

Model siklus hidup ini membagi perjalanan manusia ke dalam 3 periode sebagai beikut :

1.      Periode belum produktif (0 tahun sampai dengan usia kerja). Dalam tahap ini dikatakan oleh ABM bahwa seseorang melakukan konsumsi dalam kondisi “Dissaving”, kenapa demikian karena seseorang melakukan konsumsi sangat tergantung pada orang lain.

2.      Periode produktif (dari usia kerja sampai dengan usia di mana orang tersebut sudah menjelang usia tua). Tahap ini dikatakan bahwa seseorang berkonsumsi dalam kondisi “Saving”, kenapa dikatakan demikian, karena seseorang pada tahap ini pengeluaran konsumsinya sudah tidak tergantung pada orang lain.

3.      Periode tidak produktif lagi. Tahap ini seseorang kembali berada dalam kondisi “Dissaving”, dengan kata lain bahwa seseorang melakukan konsumsi kembali tergantung pada orang lain. Karena dalam tahap ini seseorang tidak lagi mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.

B.     Teori Investasi



Investasi pada prinsipnya merupakan segala sesuatu yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan atau menambah nilai potensi sumber daya yang lebih tinggi. Investasi identik dengan tabungan, sehingga investasi dalam literatur ekonomi hampir sama  dengan tabungan. Karena kegiatan invetasi pada dasarnya adalah kegiatan menabung pula atu investasi merupakan akumilasi dari kegiatan menabung, perbedaanya kalu investasi cenderung jangka panjang dan saving jangka pendek .[7]Dengan demikian investasi tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga nonfisik (peningkatan sumber daya).

Investasi merupakan konsep aliran karena besarnya dihitung selama satu interval periode tertentu. Tetapi investasi akan mempengaruhi jumlah barang modal yang tersedia pada satu periode tertentu. Tambahan stok barang modal adalah sebesar pengeluaran investasi satu periode sebelumnya.[8]

1.            Investasi dalam bentuk barang modal dan bangunan

Merupakan pengeluaran – pengeluaran untuk membeli pabrik – pabrik, mesin – mesin, peralatan – peralatan produksi dan bangunan gedung yang baru.Karena umurnya biasanya diatas setahun biasanya disebut investasi dalam bentuk harga tetap (fixed investment)

2.            Investasi Persediaan

Selain barang jadi, investasi dalam bentuk persediaan bisa juga dilakukan dalam bentuk persediaan bahan baku dan barang setengah jadi / sedang dalam proses penyelesaian. Tujuan kebijaksanaan persediaan ini juga tetap dalam konteks meningkatkan pendapatan atau keuntungan di masa depan.

Nilai Waktu dari Uang

Jika kita melakukan investasi, maka konsep nilai waktu uang harus benar-benar dipahami dan dimengerti sedalam mungkin. Jangan sampai kita tertipu oleh angka-angka yang fantastis, namun di balik angka yang besar itu kenyataannya justru kerugian yang kita dapatkan. Contoh kasusnya adalah jika kita berinvestasi 10 juta rupiah untuk jangka waktu 20 tahun dengan total pengembalian atau return sebesar 50 juta rupiah. Jika kita lihat dari nilai sekarang 50 juta adalah angka yang fantastis dibandingkan dengan 10 juta. Namun setelah 20 tahun berikutnya belum tentu nilai 50 juta lebih baik dibandingkan dengan nilai 10 juta saat ini.

1. Rumus Nilai Masa Depan

FV = Po (1 + r) ^n

Keteragan :

FV = Future Value / Nilai Mendatang

Po = Arus Kas Awal

r = Rate / Tingkat Bunga

^n = Tahun Ke-n (dibaca dan dihitung pangkat n)

Contoh : Jika kita menabung 1 juta rupiah dengan bunga 10% maka setelah satu tahun kita akan mendapat :

FV = 1.000.000 (1 + 0,1) ^1

FV = 1.100.000 rupia

2.         Rumus Nilai Sekarang

PV = Fn / (1 + r) ^n

Keterangan :

PV = Present Value / Nilai Sekarang

Fn = Arus kas pada tahun ke-n

r = Rate / Tingkat bunga

^n = Tahun Ke-n (dibaca dan dihitung pangkat n)

Contoh : Jika di masa yang akan datang kita akan punya saldo sebesar 1,1 juta hasil berinvestasi selama satu tahun, maka uang kita saat ini adalah sebesar :

PV = 1.100.000 / (1 + 0,1) ^1

PV = 1.000.000 rupiah

Tambahan :

1 / (1 + r) ^n disebut juga sebagai discount factor

Kriteria Investasi

Kriteria untuk menentukan kelayakan suatu investasi adalah :

1.                  Payback Period (PP)

Teknik penilaian terhadap jangka waktu (period) pengembalian investasi proyek atau usaha.

 

Ada 2 Model perhitungan PP :

a.       Apabila kas bersih setiap tahun sama

PP =         Investasi           X 12 bulan

            Kas bersih / tahun

b.      Apabila kas bersih setiap tahun berbeda

PP =      Sisa Investasi                X 12 bulan

            Kas bersih sesudahnya.

Untuk menilai usaha layak diterima atau tidak dari segi PP, maka hasil perhitungan tersebut harus sebagai berikut :

a.      PP sekarang lebih kecil dari umur investasi

b.      Dengan membandingkan rata – rata industri unit usaha sejenis

c.      Sesuai dengan target perusahaan

Kelemahan metode ini :

a.      Mengabaikan time value of money

b.      Tidak mempertimbangkan arus kas yang terjadi setelah masa pengembalian

2.                  Average Rate of Return (ARR)

Mengukur rata – rata pengembalian bunga dengan cara membandingkan antara rata – rata laba setelah pajak (EAT) dengan rata – rata investasi.

Rumus menghitung ARR sbb:

Ø  ARR %                  = Rata – rata EAT

                                    = Rata – rata investasi

Ø  Rata – rata EAT     = Total EAT

                                       Umur ekonomis (n)

Ø  Rata – rata investasi = Investasi

                                                            

3.                  Net Present Value (NPV)

Nilai bersih sekarang merupakan perbandingan antara PV Kas Bersih (PV of proceed) denhgan PV investasi (capital outlays) selama investasi. Selisih antara kedua PV tersebutlah yang kita kenal Net Present Value (NPV)

Rumus :

NPV = Kas bersih 1 + Kas bersih 2 +...+ Kas bersih N - Investasi

                (1+r)               (1+r)²                     (1+r)

Setelah memperoleh hasil yang dengan :

NPV positif, maka investasi diterima

NPV negatif,sebaiknya investasi ditolak

Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Investasi

Sebagai sebuah keputusan yang rasional, investasi sangat ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu tingkat pengembalian yang diharapkan dan biaya investasi.

a.       Tingkat Pengembalian yang diharapkan (Expected Rate of Return)

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal maupun eksternal perusahaan. Kondisi internal adalah tingkat efesiensi pada proses produksi dan distribusi, kualitas sumber daya manusia, maupun tingkat teknologi yang digunakan. Adapun kondisi eksternal adalah perkiraan tingkat peroduksi, pertumbuhan ekonomi domestik maupun internasional dan kebijakan pemerintah.

b.      Tingkat Bunga

Faktor utama yang menentukan biaya investasi adalah tingkat bunga pinjaman. Semakin tinggi tingkat bunga pinjaman maka biaya investasi semakin mahal.

c.       Ketersediaan Faktor-Faktor Produksi

Berbicara tentang produksi tidak lepas dari faktor-faktor produksi yang digunakan. Ketersediaan faktor produksi yang banyak dan mudah di dapat akan menarik minat berinvestasi. Misalnya, Indonesia memiliki penduduk yang besar (merupakan asset, tenaga kerja dan pasar bagi produk yang dihasilkan) dan kekayaan alam yang banyak. Kondisi ini akan menarik minat investor baik dari dalam maupun luar negeri

d.      Peluang Pasar

Suatu keputusan investasi tidak akan menguntungkan apabila tidak memiliki pasar. Semakin besar pasar bagi hasil produksi maka investasi akan semakin menguntungkan.

e.       Iklim Usaha yang Kondusif

Kebijakan pemerintah pusat maupun daerah yang mendukung iklim investasi akan menarik minat investor. Misalnya pemerintah memberikan kemudahan dalam perizinan usaha, perbaikan infrastruktur,dan sebagainya.

f.       Terjaminnya Keamanan dan Stabilitas Politik

Suatu daerah atau negara yang sering terjadi konflik atau kerusakan, akan mengurangi minat investor. Pelaku investasi tidak mau beresiko terhadap keamanan asset usahanya apabila pemerintah maupun masyarakat tidak menjaga keamanan.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url