Mengetahui Latar Belakang Kurikulum Merdeka

guruedukasi - Pengkajian akademis ini menerangkan latar belakang, dasar empiris, dan rangka konseptual yang dipakai dalam merangkum peraturan kurikulum dan membuat Kurikulum Merdeka. Pengkajian ini meliputi taktik implikasi kurikulum baru, sebuah rumor yang paling memengaruhi kesuksesan dari tiap peraturan pengajaran.

Sepanjang 2 tahun di depan, Kurikulum Merdeka terus akan ditingkatkan berdasar penilaian dan operan balik dari beragam pihak. Searah dengan proses penilaian itu, dokumen ini akan alami koreksi dan penyempurnaan secara berkala.

Kenaikan dan pemerataan kualitas pendidikan jadi rintangan khusus dalam pembangunan pendidikan di Indonesia. Untuk menangani rintangan ini, semenjak 2009 Pemerintahan sudah penuhi kewajiban bujet pendidikan sejumlah 20% APBN dan terus tingkatkananggaran pendidikan dari Rp 332,4 T pada 2013, jadi Rp 550 T pada 2021 (kemenkeu.go.id, 2021).

Kenaikan bujet itu sudah berperan positif pada pembaruan tingkat pendidikan dan kesejahteraan guru, pengurangan ukuran kelas (rasio guru-siswa), dan pembaruan fasilitas dan prasarana di unit pendidikan (Beatty et.al, 2021; Muttaqin, 2018). Akan tetapi, beragam tanda hasil belajar pelajar belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan.

Seperti akan dibahas beragam pengukur hasil belajar pelajar memperlihatkan relatif masih rendahnya hasil kualitas belajar di Indonesia. Juga begitu, tidak ada kenaikan kualitas evaluasi yang berarti dalam sekian tahun terakhir. Pada kerangka berikut pendidikan di Indonesia sedang alami kritis evaluasi, yang jika tidak selekasnya diatasi akan memperkuat apa yang dikatakan Pritchett (2012) sebagai schooling ain't learning: bersekolah tetapi tidak belajar.

Kritis evaluasi yang terjadi demikian lama itu, diperparah dengan Wabah Covid-19 yang saat itu juga bawa peralihan di wajah pendidikan di Indonesia. Peralihan yang paling riil terlihat di proses evaluasi yang awalannya bertopang pada sistem bertemu muka berpindah jadi evaluasi jarak jauh (PJJ).

Intensif belajar mengajarkan alami pengurangan yang berarti, baik jumlah hari belajar dalam satu minggu atau rerata jumlah jam belajar dalam sehari. Sepanjang PJJ, biasanya pelajar belajar 2-4 hari dalam satu minggu khususnya pelajar di tingkat SMP, SMA, dan SMK (Puslitjak, 2020).

Di DKI Jakarta, rerata saat yang dipakai untuk evaluasi jarak jauh cuma 3.5 jam/ hari sementara di luar Jawa lebih pendek kembali yakni cuma 2,2 jam/ hari (UNICEF, 2020). Kebatasan koneksi internet, piranti digital dan kemampuan baik guru, orangtua,atau pelajar dilihat jadi rintangan paling besar dalam mengadakan PJJ (Afriansyah, 2020; UNICEF, 2020).

Di tengah-tengah kebatasan yang ada, beragam taktik dilaksanakan sekolah untuk mengadakan PJJ. Pratiwi dan Khusus (2020) mengenali minimal enam taktik yang sudah dilakukan sekolah.

Pertama, di daerah dengan koneksi internet dan piranti digital mencukupi, dan disokong oleh guru dan pelajar yang terbuka digital evaluasi bisa jalan relatif baik dengan kelas di ruangan maya (interactive virtual classroom) dan memaksimalkan program belajar daring.

Ke-2 , Disekolah-sekolah dengan koneksi internet dan piranti digital yang ideal tetapi tidak disokong dengan ketrampilan digital guru/pelajar, PJJ dilaksanakan terbatas di mana penempatan dan pengarahan oleh guru biasanya dilaksanakan lewat program sosial media WhatsApp.

Ke-3 , beberapa sekolah dengan koneksi internet terbatas melakukan proses belajar dalam kelompok-kelompok kecil rumah pelajar atau guru.

Ke-4, beberapa sekolah yang tanpa koneksi internet manfaatkan radio lokal/ radio pemula untuk menebarkan penempatan.

Ke-5, ada sekolah yang memakai pesan berantai ("mouth to mouth" massage) untuk sampaikan pekerjaan ke pelajar. Paling akhir, beberapa sekolah bahkan juga harus terpaksa liburkan pelajarnya. Studi-studi selanjutnya memberikan perhatian pada imbas-dampak yang terjadi dalam peralihan radikal pada proses evaluasi sepanjang wabah.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url