Potret Anak Indonesia: Lemah Nalar karena Kurang Membaca

Ketertarikan baca yang tinggi dapat membuat anak-anak mempunyai penalaran yang kuat, kreasi oke, sudut pandang yang luas, dan pada akhirannya tingkatkan kualitas pengajaran bangsa. Sayang, beberapa penelitian ungkap daya literatur di Indonesia masihlah jauh di bawah negara lain. Dikutip dari Tirto.id, berikut kami berikan Foto Anak Indonesia: Kurang kuat Logika karena Kurang Membaca

Potret Anak Indonesia: Lemah Nalar karena Kurang Membaca

Usai menampar Glen (Irfan Siagian), Jarot (Tio Pakusadewo) menanyakan pada segerombolan tukang jambret umur tanggung yang sejauh ini ada di bawah kekuasannya: adakah yang ingin bisa gantian ditampar ? Tidak ada yang menjawab. Semua menunduk takut. Terkecuali Glen.

Sekalian 1/2 berteriak dia kembali memperjelas sikap yang sebagai wakil inspirasi beberapa temannya lainnya, "Tetapi kita tidak ingin sekolah!"

Jarot semakin murka.

"Glenn, lu inget tidak waktu nyopet di Kalibata Mal? Lu dikejar-kejar massa? Itu karena lu tidak dapat baca! Inget lu? Kalau lu dapat baca petunjuk jalan seperti getho tu (plang Polisi), lu tidak akan kabur ke arah tempat yang salah. Lu kabur ke kantor polisi, tolol! Pulang!"

Malam itu Glen dan lawan-kawan satu gengnya belajar satu perihal: menjadi pencopet harus juga terbuka huruf. Film "Alangkah Lucunya Negeri Ini" sebenarnya memiliki kandungan banyak komponen humor, tetapi episode itu malah membuat pemirsa miris.

Glen, walau fiktif, ialah muka remaja Indonesia dengan keadaan tidak untung: anak jalanan, tanpa pengajaran mencukupi, dan tumbuh jadi kriminal. Glen ialah representasi ketidakberhasilan negara yang semestinya mencerdaskan kehidupan bangsa—tanpa terkecuali.

Beberapa orang buta huruf seperti Glen ada banyak di Indonesia. Dalam penelitian CIA World Factbook tahun 2014, Indonesia ada di posisi ke-121 untuk negara dengan tingkat terbuka huruf sebesar 92,8 persen.

Satu tingkat saja di bawah Afrika Selatan dengan tingkat terbuka huruf sebesar 93 % dan satu tingkat di atas Myanmar dengan tingkat terbuka huruf sebesar 92,7 persen. Ini memiliki arti masih tetap ada 7,3 % warga di Indonesia yang perlu kontribusi seseorang saat harus sekadar membaca plang di tepi jalan atau informasi terhangat di koran lokal.

Indonesia masih kalah dari beberapa negara kecil seperti Andora, Liechtenstein, Luxemburg, atau Vatikan dengan tingkat terbuka huruf capai 100 persen.

Indonesia bahkan juga kalah atas Korea Utara, negara komunis yang misteri yang rajin dirundung kasus kelaparan, tetapi berhasil raih tingkat terbuka huruf sampai 100 persen.

Tak hanya masih menyisakan PR untuk membuat warganya memiliki kemampuan baca-tulis dasar, pemerintah Indonesia juga berhadapan dengan persoalan laten tentang rendahnya minat baca.

Pas di bulan Maret tahun kemarin, Central Connecticut State University menerbitkan penelitiannya yang bertema World's Most Literate Nations (WMLRN).

John W. Miller dan teman-teman untuk pertamanya kali, sama sesuai claim mereka, menganalisa trend jumlah besar dalam sikap berkaitan dunia literatur dalam masyarakat di 60-an negara.

Sebetulnya mereka mengecek nyaris 200 negara, tetapi karena kekurangan data yang berkaitan, mereka mengguntingnya jadi 61 negara.

Urutan kesatu negara dengan tingkat ketertarikan baca paling tinggi ialah Finlandia di mana beberapa negara Skandinavia yang lain memimpin status 10 besar. Norwegia di posisi ke-2 , Islandia ke-3 , Denmark ke-4, Swedia ke-5, dan ke enam baru diputus oleh kehadiran Swiss.

Amerika Serikat ada di urutan ke-7, lalu dituruti oleh Jerman di urutan ke-8, Latvia di urutan ke-9, dan Belanda di status ke-10.

Prihatinnya, Indonesia ada di urutan ke-2 terikuth alias di posisi 60, pas satu tingkat di atas Botswana. Indonesia kalah atas beberapa negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand di status 59, Malaysia di status 53, atau Singapura di status 36. Negara Asia lain melejit jauh ke status atas.

Korea Selatan, misalkan, berjaya di status 22. Jepang di status 32, Cina di status 39, dan Qatar di status 44. Sampai status 20 besar, beberapa negara Barat dengan ekonominya yang sudah mapan masih memimpin

Miller, dalam pengantar penelitiannya, berbicara jika kemampuan literatur dan jadi sisi dari warga terbuka huruf global terkadang disepelekan.

Milelr sudah yang sudah habiskan beberapa umurnya untuk bergelut di dunia literatur. Sepanjang 12 tahun akhir dia menghasilkan penelitian bertema "America's Most Literate Cities" (2003-2014). Beberapa karya yang lain masih terkait dengan keutamaan jaga warga sebuah negara dalam budaya literatur yang kuat.

Kenapa?

Untuk Miller simpel saja. "Sikap warga pada Dunia Literatur jadi factor yang penting dalam kesuksesan pribadi dan bangsa dalam sektor ekonomi dan sektor yang lain memang bersyaratkan pangkalan pengetahuan yang memadai. Kesayangan pada dunia literatur tentukan masa datang dunia kita," jelasnya.

Mengarah apa yang dikatakan Miller, bukan kebenaran bila penghuni status atas dalam penelitian itu ialah beberapa negara dengan keadaan ekonomi yang lebih mapan dibandingkan Indonesia. Afrika bisa saja contoh yang lain baik.

Beberapa negara di Sub Sahara dengan keadaan ekonomi di bawah rerata negara lain di dunia tempati status bawah dalam penelitian tingkat terbuka huruf remaja dan dewasa yang dipublikasi UNESCO tahun 2011 lalu.

Masalah ini sebetulnya sudah jadi perhatian untuk banyak komponen dalam negeri. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pernah memperkirakan jika perubahan tehnologi digital seperti sosial media rupanya mengakibatkan turunnya ketertarikan baca warga kita.

Saat yang tersita untuk membaca buku saat ini ditukar ikuti apa yang trend pada media sosial.

Peristiwa ini automatis kelihatan dari konsumsi sosial media yang demikian tinggi di Indonesia, membuat beberapa orang yang ketagihan memegang dan memandang monitor handphone pintarnya, habiskan beberapa waktu untuk terhubung beberapa hal yang tidak tidak dalam dan habis.

Di zaman modern bahkan juga semakin bertambah orang sebagai customer hoaks atau beberapa konten pembunuh logika.

Data dari BPS pada tahun 2012 memperlihatkan jika 91 % warga dengan umur sepuluh tahun ke atas di Indonesia lebih sukai melihat televisi.

Dan mereka yang menyukai membaca buku cuma 17 persen. Mencuplik kembali data UNESCO, tingkat terbuka literatur buku di Indonesia cuma capai index 0,0001. Ini maknanya dari tiap 1.000 orang di Indonesia, cuman satu orang yang suka membaca.

Membaca Mempertajam Logika, Tumbuhkan Kreativitas

Sosiolog Kampus Sumatera Utara Prof Dr Badaruddin, MA di akhir tahun kemarin sempat berkata bila ketertarikan baca anak-anak Indonesia perlu lebih dipertingkat kembali untuk mendapat penalaran yang lebih bagus dan mempunyai kepandaian memadai.

Logika ialah modal paling penting sebuah bangsa bila ingin maju di bagian pengajaran dan sanggup berkompetisi secara sehat dengan beberapa negara lain.

Tanpa budaya literatur yang ideal, pelajar-siswa di Indonesia tidak akan sanggup meningkatkan memperluas sudut pandang dan khayalan. Mereka tumbuh jadi individu yang sempit miskin ide dan pemikiran.

Dengan keadaan warga yang jauh dari budaya baca, Badaruddin menerangkan, anak-anak Indonesia memang dikenali unggul di bagian hafalan, tetapi kurang kuat dalam soal penalaran.

Masalahnya lebih kompleks kembali karena ada banyak guru dengan kemahiran literatur yang cukup. Mereka pada akhirnya tidak menjadi panutan untuk siswa untuk sikap cinta ke buku atau haus akan pengetahuan.

Bila keadaan di lembaga pengajaran masih begitu, orangtua menjadi figur penyelamat. Seperti kata Sani B. Herwaman sebagai psikiater anak dan direktur Instansi Psikologi Daya Individu, ketertarikan baca harus ditumbuhkan semenjak anak-anak lahir dan orangtua perlu jadi ajudan khusus proses ini.

"Riset mengutarakan anak yang semenjak lahir dibawa berbicara dan dibacakan narasi akan memiliki kekuatan verbal semakin tinggi dibanding yang didiamkan saja," kata Sani.

Menurut Sani orangtua saat ini lebih condong ajak anak-anak mereka ke mal dibanding membaca buku.

Hasilnya anak-anak itu lebih berminat untuk bermain melihat tv atau games. Anak-anak Indonesia jadi alergi dengan buku.

Walau sebenarnya Buku ialah media yang baik sekali untuk lakukan transfer nilai ke anak dan menstimuli kreasi, kekuatan berpikiran empirik dan kekuatan ilmu bahasa anak.

Ini automatis menjawab keperluan anak akan pengajaran dimensi budi pekerti dari sisi keperluan akademik.

Selainnya tingkatkan psikis alertness, daya tangkap, kreasi dan nalar berpikiran, rutinitas membaca buku berguna juga untuk membuat watak positif dan membuat jalinan emosional hangat sama orang tua.

Kenapa? Karena anak yang banyak baca akan tumbuh jadi anak yang banyak diskusi. Dan di dalam rumah, tidak ada rekan dialog terbaik untuk anak selainnya orang tua.

Buku, ternyata sanggup membuat jalinan anak dan orangtua jadi semakin romantis dan hangat.

Sumber: https://tirto.id/potret-anak-indonesia-lemah-nalar-karena-kurang-membaca-ckZ6

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url