Arti Pendidikan - masyarakat indonesia wajib tau
![]() |
Sumber Gambar : Pixabay |
Guruedukasi - Pendidikan semestinya dan sebaiknya memerdekakan dan melepaskan. Sepanjang pada proses belajar masih ditemui ada elemen desakan dan hukuman, karena itu keinginan anak siswa belajar sama sesuai talenta, ketertarikan, dan kekuatannya hanya bualan belaka.
Tanda nyata atas kemerdekaan saat belajar ialah ditemuinya situasi dan gestur senang dan nafsu dari anak siswa dalam belajar.
Senang karena tiap kekhasan dan kekuatan diri ditegaskan tumbuhkembang secara maksimal. Bernafsu karena dalam prosesnya bebas dari perasaan takut saat coba suatu hal yang baru. Tak lagi dihantui oleh ada hukuman atas kekeliruan yang dilaksanakan.
Manusia sebagai individu pemelajar yang dikarunia budi baik oleh Si Khalik, komplet dengan semua kekhasan dan kekuatan diri bawaan yang diwarisi dari ke-2 orangtuanya; semestinya secara lahiriah tidak terperintah. Batinnya dapat memerintah diri kita menjadi individu mandiri. Seutuhnya sadar, jika tumbuhkembang kekuatan dan perkembangan diri jadi tanggungjawab individual, dan bukanlah orang lain.
100 tahun lalu, ide idealis atas pendidikan berkebangsaan yang melepaskan dan memerdekaan sudah diserukan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui berdirinya Taman Pelajar (1922 - 2022).
Sebagai daya-upaya menumbuhkembangkan budi pekerti, pendidikan semestinya dan sebaiknya sanggup menajamkan pemikiran (cipta), melembutkan hati (rasa), dan memperkuat kehendak (karsa) di mana prosesnya dijauhkan dari elemen hukuman dan desakan.
Pertanyaan reflektif dalam rencana mengingati dan mengartikan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) - 2 Mei, bertopik "Memimpin Rekondisi, Bergerak untuk Merdeka Belajar" ialah bagaimana dengan foto kualitas pendidikan di tanah air sekarang ini? Apa sesudah seabad, misi Ki Hadjar Dewantara hal pendidikan yang melepaskan dan memerdekakan sudah terejawantahkan?
Dalam kurun waktu dekat, kurikulum pendidikan nasional akan selekasnya berpindah ke Kurikulum Merdeka; yang sekarang ini akar, arah dan implikasinya sementara giat dan terus-menerus didiseminasikan ke sekolah-sekolah. Sebagai anak negeri, kita mengharap ada peralihan fundamental di proses pendidikan yang betul-betul memerdekakan dan melepaskan.
Bukannya kemahiran anak siswa alami perkembangan dan perubahan, jika kegiatan evaluasi terkikis sebagai kegiatan peralihan pengetahuan, di mana prosesnya berjalan secara mengingat dan dibarengi teror berbentuk hukuman, dan cuma fokus pada perolehan angka rapor sekolah karena itu proses pendidikan sudah salah jalan (Ki Hadjar Dewantara, 1934)
Jika peristiwa ketersesatan seperti yang digambarkan Ki Hadjar Dewantara masih ditemui pada hari ini, karena itu proses pendidikan jadi kehilangan artinya dan tidak berhasil dalam berperan secara nyata atas proses tumbuhkembang anak siswa.
Kondisi dan situasi seperti berikut yang menurut Willingham (2009) dalam bukunya yang dengan judul "Why don't students like school?" yang mengakibatkan pelajar malas untuk tiba dan belajar dalam sekolah.
Harus diingat, riwayat menulis cukup banyak figur kelas dunia yang dahulunya sempat salah terdiagnosa. Thomas Edison, pernah dipulangkan dengan sebuah catatan yang menjelaskan jika dia dipandang bodoh dan tidak punyai keinginan.
Louis Pasteur sempat mendapatkan predikat stempel jika dia sebagai pelajar yang lamban belajar. Juga, sama seperti dengan Winston Churchill yang sempat dikeluarkan dari kelas bahasa Latin.
Dengan begitu, kiranya pada proses pengiringan ditemui kesalahan, usahlah terburu-buru memberi penilaian, apa lagi mengadili. Kesalahan seyogianya ditaruh dan dimengerti sebagai sisi proses dari tumbuhkembang.
Implikasi Kurikulum Merdeka diharap sanggup mendatangkan PBM yang berkualitas. PBM yang berkualitas ialah proses belajar yang sanggup menolong anak siswa dalam mengenal dan mendapati kekuatan yang ada di dirinya. Karena itu, nanti ketrampilan yang dipunyai guru dalam mengajarkan (teaching) bisa menjadi memiliki makna jika dituruti dengan makin mengembangnya kemampuan anak siswa saat belajar (learning).
Sekiranya gaung pesan dan panutan Ki Hadjar Dewantara menyadarkan dan menghidupkan kembali spirit beberapa individu pengajar di tanah air dalam meneladankan dan menjaga semboyan "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani" (di muka jadi panutan, di tengah-tengah ikut membuat semangat, ada di belakang memberi dorongan).
Peringatan dan pemaknaan Hardiknas dalam situasi rekondisi dari wabah, sekiranya jadi penyemangat untuk beberapa individu pengajar dalam jaga supaya pijar spiritnya masih tetap berpijar, bahkan juga diharap malah makin berkobar dalam menjaga dan mengartikan panggilan kreasi, mencerdaskan kehidupan bangsa.***